BMH JAWA TIMUR

LAZNAS - NGO Pengelola Zakat, Infaq, Shodaqoh, Dana Kemanusiaan dan Wakaf

Konsultasi : Hukum Menyebar Berita Kriminal

Konsultasi : Hukum Menyebar Berita Kriminal

Assalamu’alaikum

Pengasuh redaksi Mulai yang saya hormati, nama saya Muhammad Rajabsyah, berdomisili di Tarakan, Kalimantan Timur. Profesi saya adalah jurnalis di surat kabar harian di kota saya. Singkat saja, saya ingin mendapat penjelasan terkait pekerjaan saya.

Apakah mengungkap berita kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, judi, korupsi, dsb, dengan menyebutkan nama tersangkanya di koran dan menceritakan kronologis kejahatannya, termasuk membicarakan aib sesesorang dan termasuk dosa?

Apa batasan aib menurut syariah Islam? Mohon penjelasannya, terima kasih
Hendri Satrio Tarakan


Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan anugerah kepada anda berupa keahlian dalam menyampaikan berita. Dengan makna demikian pada dasarnya anda adalah penerus salah satu tugas Nabi yaitu penyampai berita yang juga merupakan makna dari kata “Nabi” itu sendiri.

Sebagaimana kita pahami bahwa Nabi membawa berita dalam rangka perbaikan, oleh karena itu Allah mengutusnya untuk menyampaikan aturan-aturan sebagai petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebahagiaannya baik pribadi maupun kolektif.

Dalam rangka itu Allah menegaskan tujuannya dalam mengutus “pewarta” Nya yaitu membimbing manusia menjadi pribadi yang suci (QS.Ali Imran:164, al-Jumu’ah:2) keluarga yang suci (QS.al-Ahzab:33) yang otomatis akan membentuk masyarakat yang suci. Oleh karena itu, Allah -Yang Maha Tahu tentang potensi manusia yang acap berbuat salah- tidak menghendaki pembesaran berita-berita buruk yang menodai kehormatan pribadi maupun komunitas.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”(QS. Al-Nur:19)
Tindak kriminal seseorang pada dasarnya bukan asupan informasi yang mendukung kesucian dan kebahagiaan manusia. Berita tersebut lebih tepat menjadi masukan pihak yang berwenang untuk menghentikan dan memperbaikinya. Siapapun berharap bahwa penjahat akan segera bertaubat dan terbukti, banyak diantara mereka yang menyesal. Mereka malu, keluarganya, lingkungannya juga ikut malu, sebab merasa kehormatan mereka rusak. Oleh sebab itu, pada dasarnya menyampaikan berita yang menyangkut cacat seseorang baik yang menyangkut fisik maupun moral kepada satu pihak apalagi banyak pihak adalah haram, termasuk dalam kategori ghibah.

Terkait ghibah secara tegas Allah menyamakannya dengan dengan tindakan kanibal.(QS.Al-Hujurat:12). Dalam perspektif Islam, “ penyakit/kekurangan “ manusia semestinya dilokalisir dan diatasi, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu setelah meneliti berbagai dalil, ulama menyepakati atas haramnya ghibah dan diperkenankan dalam kondisi darurat atau sangat dibutuhkan.

Al-Nawawi dalam kitab Riyadh al-Shalihin I/432 menyimpulkan enam kondisi yang memperbolehkan ghibah:

Pertama, yaitu mengadukan seseorang yang mendzalimi kepada pihak yang berwenang atau mampu menghentikan dan mengambil ganti kerugiannya, seperti penguasa, hakim dan sebagainya. Dalam konteks sekarang ke polisi misalnya.

Kedua, meminta bantuan untuk merubah kemungkaran yang dilakukan seseorang dengan mengatakan –misalnya- :” Si fulan pesta minuman keras, tolong dibantu untuk menghentikannya” Namun jika tanpa niat merubah kemungkaran alias sekedar menebar berita, maka hukumnya menjadi haram.

Ketiga, meminta fatwa kepada pihak yang berkompeten dengan mengataka misalnya :” Si fulan pernah melakukan begini dan begitu kepada saya, bolehkah itu?” Tetapi jika masalah tersebut dapat dipahami tanpa menyebut nama, maka hal itu lebih baik.

Keempat, menghindarkan kaum muslimin dari pengaruh buruk pihak tertentu seperti mengungcap cacat para rawi yang tidak berkompeten. Termasuk dalam hal ini adalah memberi nasehat kepada sesama muslim tentang kondite pihak yang ia ajak bekerja sama atau hendak dipilih untuk mengemban amanah publik.

Kelima, menggunjing orang yang senagaja menampakkan keaksiatannya, baik dengan ucapan, tulisan maupun mempertontonkan prilaku maksiatnya secara langsung.

Keenam, menyebut seseorang yang sudah terlanjur populer dengan nama yang berpotensi menghinakan pemiliknya. Seperti orang yang populer dengan al-A’raj (si pincang), al-A’masy (si rembes, matanya selalu berair) dzulyadain(si tanganpanjang) dan sebagainya.

Merujuk pada enam hal di atas, maka jika suatu peristiwa kriminal berada dalam salah satu kondisi di atas barulah diperkenankan secara syariat.

Oleh sebab itu, jurnalis muslim selain harus menjaga akurasi berita juga harus mempertimbangkan aspek yang menyangkut kehormatan orang lain, untuk disikapi dengan tepat layak diberitakan maupun tidak.Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar