Sejatinya, ibadah itu adalah inti dari perubahan. Penggerak perubahan selalu ada pada sosok-sosok yang senantiasa luar biasa kualitas ibadahnya. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan melihat sejarah para Nabi dan Rasul yang Allah jabarkan di dalam Al-Qur’an. Bahkan, secara spesifik, fakta akan hal tersebut juga terpapar dengan sangat gamblang pada sejarah penakluk Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih. Seorang pemuda yang memimpin pasukan dengan kekuatan ilmu, taktik dan strategi serta kedisiplinan beribadah yang sangat luar biasa.
Suatu riwayat menyebutkan, sejak akil baligh Al-Fatih tidak pernah absen sholat berjama’ah. Bahkan tidak pernah semalam pun, tidak bangun sholat tahajjud. Jadi, pantas jika prestasi Muhammad Al-Fatih dalam membawa perubahan umat dan peradaban yang sungguh sangat luar biasa. Dengan kata lain, ibadah adalah thoriqat, metode atau manhaj mutlak bagi siapa pun yang menghendaki suatu perubahan. Itulah jalan para Nabi dan Rasul, sahabat dan ulama terdahulu.
Orientasi dan Kehadiran Allah
Tentu kita bertanya, mengapa ibadah yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul, sahabat dan ulama terdahulu mampu melahirkan suatu perubahan besar? Hal itu tidak lain dan tidak bukan karena ibadah yang mereka lakukan benar-benar berorientasi hanya kepada Allah. Kemudian ada suatu kesadaran bahwa dalam setiap ibadah yang mereka lakukan senantiasa ada kehadiran Allah Ta’ala. Akibatnya, selain menimbulkan kekhusyu’an yang stabil, ibadah tidak seakan lagi menjadi satu kewajiban. Melainkan telah berubah menjadi suatu kebutuhan. Tidak beribadah dengan baik sama halnya dengan tidak makan bagi fisik manusia.
Di sinilah terjawab alasan di balik ibadah Rasulullah yang sangat luar biasa. Beliau mampu sholat malam hingga bengkak kedua kakinya. Dan, ketika ditanya oleh sang istri, beliau justru menjawab dengan singkat, “Tidakkah aku pantas menjadi hamba-Nya yang bersyukur.” Jadi, dengan ibadah yang diorientasikan
hanya kepada Allah (Liqaa Rabbih) akan menjadikan seorang hamba tidak lagi merasa dipaksa atau diperintah untuk bersyukur kepada-Nya. Tetapi sangat butuh untuk terus bersyukur kepada-Nya.
Kala syukur sudah menjadi kebutuhan, maka ibadah benar-benar akan menjadi suatu kemutlakan dalam hidup seorang Muslim, hingga kala mereka berkarya, maka karyanya akan mendunia bahkan menembus zaman.
Itulah yang ada pada diri Imam Syafi’i, Imam Ghazali, Ibn Sina, Fakhrudin Al-Razi dan lain sebagainya. Jasad mereka telah tiada, tetapi buah tangan mereka (karyanya) tetap menemani setiap hembusan nafas
anak zaman, bahkan mungkin hinga akhir zaman.
Standar Hidupnya adalah Al-Qur’an.
Mereka yang memiliki spirit ibadah dengan orientasi bersyukur kepada-Nya, sudah pasti mereka ‘akrab’ dengan Al-Qur’an. “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan” (QS. 18: 1).
Ada rasa syukur luar biasa terhadap Al-Qur’an, sehingga tidak mungkin mereka yang memiliki mental syukur yang luar biasa tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai basis standar dalam kehidupannya. Dan, mereka tidak membaca Al-Qur’an, melainkan untuk menyempurnakan ilmu dan pengamalan, sehingga terus menerus
bahagia dalam ketaatan hanya kepada Allah.
Pantas jika Nabi Zakariya berpesan kepada putranya Yahya untuk benarbenar berpegang teguh kepada Kitab Allah. “Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh” (QS. 19: 12). Artinya, bagi umat Islam, berpegang teguh kepada Al-Qur’an itu sangat penting. Oleh karena itu, mereka yang
memiliki spirit ibadah yang kuat adalah orang-orang yang dalam hidupnya tidak pernah lepas dari Al-Qur’an. Baik dalam pengertian membacanya, lebih-lebih mengamalkannya.
Sajadah Hidupnya adalah Dakwah
Ilallah Mereka yang beribadah dengan orientasi syukur kepada Allah. Kemudian menjadikan Al-Qur’an sebagai basis atau standar hidupnya, sudah pasti tidak akan melewatkan peluang emas dari-Nya berupa tawaran menggiurkan yang tiada taranya, yakni dakwah ilallah. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh, dan berkata: “Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. 41: 33).
Dakwah menjadi sajadah panjang hidupnya. Orang yang bagus ibadahnya, kuat bacaan Qur’annya dan hidup memang benar-benar di atas landasan Al-Qur’an tidak mungkin berkata sia-sia dan tidak mungkin mengabaikan dakwah. Karena kesempurnaan ibadah ada pada dakwah. Dengan demikian maka, ibadah yang berdimensi perubahan adalah ibadah yang mendorong seorang Muslim untuk cinta dan rela berkorban dalam dakwah. Karena kesempurnaan manusia itu ada pada berjalannya dua fungsi sekaligus. Yakni fungsi sebagai Abdullah (QS. 51: 56) dan Khalifatullah (QS. 2: 30).