BMH JAWA TIMUR

LAZNAS - NGO Pengelola Zakat, Infaq, Shodaqoh, Dana Kemanusiaan dan Wakaf

Melestarikan Tradisi Ilmu

Melestarikan Tradisi Ilmu

Dalam hal membangun tradisi ilmu, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah memberikan uswah. Lalu, ulama –pewaris para Nabi- juga sudah memberikan teladan terkait dengan usaha melestarikan tradisi ilmu. Dengan ilmu berbagai masalah bisa kita selesaikan. Bukalah sejarah Perang Salib. Pada 1095 Perang Salib dimulai dan pada 1099 Jerusalem jatuh ke Pasukan Salib karena umat Islam terpuruk di banyak aspek.


Pada 1187, tampillah Shalahuddin Al-Ayyubi membebaskan Al-Aqsha. Siapa Shalahudin? Dia adalah generasi baru produk yang telah dipersiapkan oleh para ulama hebat seperti -antara lain- Imam Al-Ghazali.

Alkisah, pada sekitar 90 tahun pertama Perang Salib, umat Islam kalah. Atas kenyataan pahit itu, Imam Al-Ghazali melakukan perenungan yang mendalam. Apa yang ditemukannya dan ‘resep’ apa yang lalu Al-Ghazali berikan? Kala itu, kata Al-Ghazali, aqidah, pemikiran, dan akhlak umat Islam rusak. Karena itu mereka memerlukan perubahan (perbaikan) lebih mendasar. ”Benahi keilmuan dan keulamaan,” begitu kesimpulan Al-Ghazali. Beliau lalu menulis Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).

Buku yang ditulis di zaman perang itu dibuka dengan “Kitabul Ilmi”. Bahwa, ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan dan amal yang benar. Ilmu yang salah akan menggelincirkan pada pemahaman yang salah dan berujung pada amal yang salah pula. Bacalah ’kegelisahan’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam ini: “Termasuk di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang Al-Qur’an” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Ilmu yang rusak dan ulama yang jahat adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Atas kewajiban mencari ilmu, kita harus bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang kita punya untuk meraih ilmu sebanyak mungkin. Kecuali pahala yang akan kita dapat, ilmu yang kita miliki akan menjadi landasan yang kukuh atas bangunan iman dan amal kita. Di titik inilah, jalan kebahagian kita –di dunia dan akhirat- akan sangat ditentukan ‘nasib’-nya.

Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ibnu Taimiyah adalah sedikit contoh figur yang dengan aktivitas membaca dan menulisnya selalu berusaha menegakkan tradisi ilmu untuk meraih posisi sebagai umat terbaik. Mereka belajar ke banyak ulama (guru) dan di banyak tempat pula. Mereka membaca banyak kitab / buku dan pada saat yang sama juga menulis banyak kitab / buku.

Sekadar contoh, lihatlah Imam Syafi’i (767 - 819 M) dengan aktivitas membaca dan menulisnya. Dia telah menunjukkan, bagaimana seharusnya menjadi bagian dari umat terbaik yang selalu berusaha menegakkan tradisi ilmu. Dia hafal Al-Qur’ di usia 9 tahun. Dia belajar ke banyak guru dan di banyak tempat. Kita-pun tahu, Imam Syafi’i lalu ‘mengabadikan’ ilmunya lewat banyak karya tulis.

Sungguh, jika kita setia terhadap ajaran Islam maka tradisi ilmu akan menjadi keseharian kita. Tradisi ilmu itu indikator paling menonjolnya adalah kuat membaca dan rajin menulis. Di titik ini, kita punya ‘catatan emas’ bahwa tersebab tradisi mulia itu –yaitu membaca dan menulis- berbagai capaian karya gemilang dari intelektual-intelektual Islam telah berkontribusi kepada terbangunnya peradaban mulia.

Kaum Muslimin telah melahirkan banyak cendekiawan hebat yang diakui secara akademis oleh dunia. Misal, Ibnu Khaldun di bidang sosiologi dan ekonomi, Ibnu Rusyd di bidang filsafat, Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al-Khawarizmi di bidang matematika, Al-Biruni di bidang astronomi, dan sebagainya.

Terutama di masa lalu, sebegitu kuatnya umat Islam menjaga tradisi ilmu, maka berbagai kisah menggetarkan akan mudah kita dengar. Misal, banyak di antara mereka yang menghabiskan belasan jam dalam sehari untuk membaca dan menulis seperti yang dilakukan Imam Nawawi (penulis berbagai buku, antara lain Riyadush-Shalihin), Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Katsir, dan lain-lainnya.

Kita patut untuk selalu melibatkan diri dalam setiap usaha menghidup-hidupkan tradisi ilmu. Mulailah dari diri sendiri, lalu bergerak ke lingkungan terdekat, dan seterusnya. Ayo, lestarikan tradisi ilmu dengan cara meneladani para ulama -Pewaris para Nabi- yang tiada lelah mencari ilmu dan sekaligus tanpa henti menyebarkannya.*

Oleh : M. Anwar Djaelani,
Dosen STAIL Pesantren Hidayatullah

0 komentar:

Posting Komentar