BMH JAWA TIMUR

LAZNAS - NGO Pengelola Zakat, Infaq, Shodaqoh, Dana Kemanusiaan dan Wakaf

Bersama Memberdayakan Ummat

Bersama Memberdayakan Ummat

Ilmu dengan ilmu tidak sama. Orang berilmu yang satu dengan orang berilmu lainnya tidak sama. Ada ilmu yang oleh si penyandang ilmu bisa diamalkan dan ada ilmu yang hanya berhenti sebagai ilmu, karena minus pengamalan. Ilmu yang tidak diamalkan itu karena si penyandang memihak kuburan, si penyandang ilmu tak mampu mengamalkannya dan otomatis ilmu itu menjadi tidak berguna.


Karena itu pendidikan masa depan sebaiknya selalu dikaitkan dengan “etos kerja”. Memang ada sekelintir orang yang berpendapat bahwa yang penting cari ilmu dulu soal kerja itu kemudian. Pendapat itu mungkin sedikit ada benarnya, tapi kalau faham seperti itu ditanamkan sejak dini kepada semua anak, tentu ada
bahayanya, yaitu diremehkannya etos kerja dan lemahnya gairah beramal.

Etos kerja sebaiknya ditanamkan bersamaan sejalan dan sekelindan dengan pembelajaran dan pemahaman teori-teori yang bagus itu. Ada adagium kebudayaan yang tentu perlu kita renungkan, bahwa kecelakaan
kebudayaan ialah karena banyaknya orang yang bekerja tapi tidak berilmu, dan tidak kalah celakanya ialah karena banyaknya orang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya.

Bekerja dan beramal tanpa ilmu seperti berbuat tanpa pedoman. Sulit meraih hasil yang optimal karena segala perbuatan tidak berdasarkan ilmu. Orang tak melakukan sesuatu yang tak ia ketahui ilmunya, jelas ia akan ngawur dan hasilnya di bawah standard. Yang tak kalah memprihatinkan jika ada orang yang sudah banyak ilmunya dan aneka macam teori telah ia kuasai, tetapi ia tidak berbuat dan tidak beramal.
Kalau ia seorang sarjana, alangkah tidak elok dipandang seorang sarjana jadi penganggur. Itulah pentingnya selain seseorang punya ijazah harus pula disertai pula dengan spirit kerja yang mumpuni.

Sumber Daya Manusia (SDM)  itu sejatinya bukan soal seseorang mengantongi ijazah saja. Di balik
ijazah harus ada jiwa yang cerah yang siap menggerakkan syaraf dan nadi agar seluruh tubuh ini bisa bergerak sesuai dengan ilmu yang dimiliki untuk mengucurkan keringat yang kemudian menghasilkan buah karya nyata yang bisa dipertanggung-jawabkan. Ilmu menjadi inspirasi untuk melakukan tindakan
konkret dan nyata. Itulah hidup yang bersemangat untuk menghargai kehidupan.

Hidup tanpa kerja nyata (baca : amal saleh) berarti tidak menghargai umur yang dianugrahkan Allah. Hidup tanpa amal adalah hidup yang sia-sia dan itulah kematian sebelum dikuburkan. Itulah kematian semangat kerja yang tidak lain matinya semangat hidup. Semangat menghargai kehidupan dengan kerja nyata atau amal saleh itu harus dijadikan gerakan kebudayaan pada era globalisasi sekarang ini. Semangat vitalitas bisa dirujuk dengan firman Allah : “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum Sehingga kaum itu sendiri berusaha untuk mengubah nasibnya.” (QS: Ar Ra’d : 11)

Pengembangan dan peningkatan SDM perlu semangat (spirit) kebersamaan untuk mengubah nasib ummat. Dengan semangat kebersamaan itu hal yang berat kalau dikerjakan sendiri, tapi dengan kerja sama akan menjadi ringan. Semut pun memberi i’tibar kepada kita, bagaimana sebutir nasi bisa diangkat bersama.
Untuk itu perlu uluran tangan para ulama, intelektual dan para aghniya untuk bersatu agar bisa mengubah nasib ummat untuk lebih berdaya dan berbudi dalam mengarungi kehidupan di era globalisasi
sekarang ini. Kepedulian dan keteladanan para tokoh dalam kebersamaan akan membawa ummat kepada hidup yang lebih bermartabat.

Jika dicermati, di balik bangsa-bangsa yang berdaya, selalu ada campurtangan orang-orang berilmu atau cerdik pandai yang merasa bertanggungjawab memperbaiki nasib ummat. Tidak kalah pentingnya menyiapkan generasi penerus yang berilmu dan punya etos kerja, agar umat Islam Indonesia masa depan bebas dari pengemis dan pengangguran. Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:
”Orang mukmin yang berdaya lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah.” (HR Imam Muslim)

Ummat Islam perlu dipersiapkan untuk  bangkit agar menjadi subjek yang sadar akan tugas mulia mewujudkan kehidupan yang bertaqwa dan berdaya. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.*

Oleh : D Zawawi Imron

0 komentar:

Posting Komentar