BMH JAWA TIMUR

LAZNAS - NGO Pengelola Zakat, Infaq, Shodaqoh, Dana Kemanusiaan dan Wakaf

Menuai Hikmah dari Seorang Syukur

Menuai Hikmah dari Seorang Syukur

Menuai Hikmah dari Seorang Syukur - Ijinkan saya bercerita. Cerita ini berkisah sosok yang sederhana di pelosok Sanggau, Kalimantan Barat. Mungkin, bagi sebagian orang, sosok itu tidak istimewa. Dia hanya orang biasa yang mendedikasikan dirinya untuk menghidupkan lentera di tengah gulita belantara hutan pinggiran Sungai Kapuas.


Sosok tubuh lelaki itu juga biasa saja. Bahkan, maaf, ada sedikit cacat. Salah satu kakinya tidak sempurna sehingga tidak bisa berjalan normal. Jika hendak pergi ke suatu tempat, biasanya dia selalu dibonceng santrinya. Namun, di balik sosok ‘biasa-nya’ itu, tersimpan keistimewaan luar biasa yang mengundang decak kagum. Dia melakukan sesuatu yang tak banyak dilakukan orang normal. Aku bertemu denganya sekitar tiga tahun silam sewaktu reportase untuk Majalah Suara Hidayatullah.

Nama lelaki itu adalah Abdus Syukur. Dia biasa dipanggil ustadz Syukur. Syukur bukan penduduk asli pelosok Sanggau itu. Dia datang dari kota kaya minyak Balikpapan, Kalimantan Timur. Kala itu, Syukur ditugaskan untuk merintis pesantren di belantara pedalaman Sanggau. Mendapat amanah itu ia hanya berucap satu kata: sami’na wa’thona—kami dengar dan kami taati.

Beberapa tahun lamanya Syukur berjibaku membuka cabang di tempat tugas barunya. Pepohonan rindang dia tebang. Semak belukar dia babat. Tak ada listrik. Gelap. Bahkan, tetangga pun tak ada. Sepi. Dia hanya ditemani binatang hutan. Pun rumah. Tak ada. Dia dan beberapa santri membuat gubuk sederhana dari kayu yang beratap anyaman daun rumbia.

Beberapa tahun berselang jerih payah merintis pesantren pelan-pelan membuahkan hasil. Lahan yang dulunya berupa hutan yang penuh semak belukar tinggi itu mulai terang dan kini di atasnya berdiri beberapa asrama.
Bahkan, kini sedang dibangun ruang kelas dua tingkat permanen. Ustadz Syukur memiliki puluhan santri dari beberapa daerah di sekitar Sanggau. Katanya, mereka kebanyakan anak orang tidak mampu bahkan ada yang sengaja dibuang kedua orangtuanya.

Setiap hari mereka diajari membaca Al-Qur’an dan disekolahkan. Semuanya gratis: asrama, makan, dan sekolah. Wajah santri menyiratkan cita-cita. Tempat sekitar pesantren yang dulunya sepi kini mulai dihuni orang yang mulai berdatangan.
Meski belum ada listrik, tapi setidaknya ada mesin genset. Mesin itu dinyalakan mulai Maghrib hingga pukul 20.00 malam.

Lalu, kenapa Syukur mau melakukan itu? Aktivitas yang tidak populer. Pekerjaan yang tidak diminati banyak orang. Bahkan, mungkin, tak sedikit yang akan mencibir dan menganggapnya gila: “Seperti kurang kerjaan saja jauh-jauh ke pelosok Sanggau hanya untuk mendirikan pesantren.” Bayangkan, di peolosok pinggir Sungai Kapuas yang masih perawan itu dia justru mendirikan pesantren. Tidakkah dia berpfikir untuk meniti karir di kota seperti dilakukan banyak orang seusianya.

Tidakkah dia mau bekerja mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk persiapan di hari tua. Tidak! Syukur justru memilih meniti jalan berliku yang penuh onak dan duri: menjadi penerang gulita di pinggir Sungai Kapuas.

Saya pun sempat bertanya. “Apa yang kau cari di tempat jauh seperti ini, ustadz?”
Syukur menjawab pendek tapi mantap. “Saya sedang mencari bekal untuk hari akhirat. Kelak, tika saya berjumpa dengan Allah nanti, saya akan bilang pada-Nya: “Ya, Allah. Ini amal sholeh (pesantren, red) yang saya perbuat selama di dunia,” jawabnya.
Deg. Saya tertegun sesaat. Jawaban yang sarat makna. Saya merenunginya dalam-dalam. Teringat betapa mulia yang dikerjakan sosok seorang Syukur di pedalaman Sanggau ini.
Lebih dari itu, dia telah mempersiapkan amal sholeh di dunia yang sesaat untuk kehidupan akhirat yang abadi. Syukur adalah orang paling cerdas. Ya, dia orang yang paling cerdas menurut Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Seperti sabda Rasul, dialah al kayyis. Al kayyis, dalam sebuah hadits disebutkan adalah orang yang beramal sholeh untuk kehidupan setelah mati. Bekal dunia penting. Tapi, bekal ukhrowi jauh lebih penting. Tersebab dunia fana. Sedangkan akhirat abadi.
Sesaat saya dirundung rasa malu dan takut. Malu karena belum bisa melakukan amal sholeh sepertinya. Takut karena jika tidak bisa menyiapkan bekal yang cukup untuk kehidupan akhirat.

Syukur adalah sosok biasa. Tapi, dengan amal sholehnya dia sebenarnya sosok luar biasa. InsyaAllah, para malaikat akan iri padanya. Pun bidadari di surga akan rindu menanti sosoknya. Syukur adalah sosok orang yang telah mensedekahkan tenaga dan hidupnya untuk jalan Allah, jihadfi sabilillah.

Berbagi itu bukan sekedar materi, bukan semata-mata uang dan harta benda. Tetapi, berbagi itu bisa dengan senyum, ilmu dan tenaga. Seperti yang dilakukan Syukur. Syukur mengajarkan kita bahwa setiap orang bisa berbagi. Everyone can share! Dengan apapun yang kita miliki. Sebab, Allah memberikan setiap hamba potensi untuk berbagi.

Itu kenapa, hadits yang menyebutkan tiga amal shaleh yang terus mengalir meski jasad telah berkalang tanah di alam barzah adalah bukan semata shodaqoh jariyah, tetapi juga ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan.

Meski Syukur tidak mampu berbagi dengan harta yang melimpah pada anak yatim piatu dan terlantar, tapi dengan ilmu dan tenaganya, berkat pertolongan Allah, dia bisa mendirikan pesantren di ujung pelosok Sungai Kapuas. Mereka diajari ilmu agama dan disekolahkan. Mereka pun, insya Allah akan jadi anak-anak sholeh yang selalu mendoakan Syukur. Investasi akhirat.

Jika ustadz Syukur bisa, lalu bagaimana dengan kita? Jangan sampai kita kalah bahkan tidak melakukan apapun. Mari, fastabiqul khairat! */Syaiful Anshor.

0 komentar:

Posting Komentar